Jumat, 06 Maret 2009

CROUP

A. Definisi dan klasifikasi

Croup adalah terminologi yang digunakan untuk menunjukan beberapa penyakit pernafasan yang memiliki karakteristik berupa batuk yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi dalam berbagai derajat yang disebabkan obstruksi pada daerah laring, dengan atau tanpa tanda stres pernafasan.[1, 2, 3, 4, 5]

Pada sindrom croup peradangan jalan nafas terutama terjadi di daerah laring (laringitis subglotik,, laringitis spasmodik) sampai dengan bronkus (laringotrakeitis, laringotrakeobronkitis). Klasifikasi croup berbeda-beda dan berubah-ubah. Beberapa penulis membagi croup menjadi dua, viral croup (karena infeksi virus) dan spasmodik croup (karena faktor atopi).[1, 3] Namun ada juga yang membagi menjadi empat (spasmodic, laringotrakeitis, laringotrakeobronkitis/laringotrakeobronkopneumonitis/bacterial trakeitis, laringitis difteri). Istilah laringotrakeobronkitis sering disalahgunakan dalam untuk menyebutkan croup secara umum, karena kasus terbanyak dari croup adalah laringotrakeitis dan croup spasmodik. Beberapa penulis lebih cenderung menggunakan istilah tersebut untuk derajat croup yang lebih berat atau tidak sembuh dengan pengobatan kortikosteroid dan adrenalin. Banyak pula yang berpendapat keikutsertaan bronkus maupun parenkim paru (laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonitis) lebih dikarenakan adanya infeksi bakteri sekunder.[1, 5]

Etiologi dari sindrom croup sebagian besar adalah virus.[1, 2, 3, 4, 5, 6] Diantaranya adalah virus parainfluenza terutama tipe 1 (bertanggungjawab atas 80% kasus croup) dan 3, Influenza A and B, adenovirus, respiratory syncytial virus (RSV), echo virus, rhinovirus. Penyebab lain yang jarang adalah Mycoplasma pneumonia. Pada perjalanan penyakit tidak jarang terjadi infeksi bakteri sekunder, antara lain oleh Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, dan Moraxella catarrhalis.


B. PATOFISIOLOGI

Transmisi virus (terutama parainfluenza dan RSV) dapat terjadi karena adanya inokulasi direk dari sekresi yang membawa virus lewat tangan atau melalui partikel aerosol besar yang masuk lewat mata ataupun hidung.[7, 8] Infeksi virus pada laringotrakheitis, laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonia biasanya berawal dari nasofaring atau orofaring yang kemudian turun sampai ke laring dan trakea setelah masa inkubasi 2 – 8 hari. Terjadi peradangan difus yang menyebabkan eritema dan edema pada mukosa dinding saluran pernafasan. Laring adalah bagian yang paling sempit pada saluran pernafasan atas, yang membuatnya sangat rentan terhadap terjadinya obstruksi. Terjadinya edema mukosa yang sama pada dewasa dan anak-anak akan menyebabkan penyempitan yang berbeda. Edema mukosa dengan ketebalan 1mm akan menyebabkan penyempitan jalan nafas sebesar 44% pada anak dan 75 % pada bayi. Sedangkan pada dewasa hanya akan menyebabkan penyempitan sebesar 27%.[6, 9]

Edema mukosa pada daerah glottis akan menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara. Edema pada daerah subglotis juga dapat menyebabkan gejala sesak nafas. Penyempitan saluran nafas akibat inflamasi ini menyebabkan turbulensi udara yang menyebabkan terjadinya stridor.

Pada latingotrakeitis akut terdapat daerah edematous yang secara histologis mengandung infiltrat seluler pada lamina propria, submukosa dan advensisia. Infiltrat ini mengandung histiosit, limfosit, sel plasma, dan neutrofil.[1, 5, 7]

Pada Laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonitis terdapat area edematous disertai dengan infiltrat sel-sel peradangan, dan sering terdapat pula ulserasi, pseudomembran dan mikroabses. Terdapat pus yang tebal didalam lumen trakea dan jalan udara bawah.[1, 10, 11]

Pada croup spasmodik terjadi edema noninflamasi pada subglotik. Etilogi dari croup spasmodik belum sepenuhnya diketahui, namun beberapa penulis mengajukan alergi sebagai penyebab.[1, 2, 3, 5, 6, 9, 1

C. DIAGNOSIS

Pada kebanyakan kasus, anak-anak dengan sindrom croup tidak memerlukan uji klinis lain selain anamnesis menyeluruh dan pemeriksaan fisik. Hal yang terpenting adalah menegakkan diagnosis yang tepat atas penyakit obstruktif akut lainnya.[1, 2, 3, 5]

Berdasarkan derajad kegawatan, croup dibagi menjadi empat kelompok dapar dilihat pada tabel 1. Pembagian ini juga dapat diperoleh dengan menilai penyakit melalui Westley Croup Score, tabe 2.

Tabel 1 Derajat kegawatan Croup.

Derajat Kegawatan

Karakteristik

Ringan

Kadang-kadang batuk menggonggong, tidak terdengar stridor ketika istirahat, retraksi ringan atau tidak ada.

Sedang

Batuk menggonggong yang sering, stridor yang terdengar pada saat istirahat, terdapat retraksi pada saat istirahat, anak tidak gelisah

Berat

Batuk menggonggong yang sering, stridor ekspirasi, terdapat retraksi sternal yang jelas, anak gelisah dan terdapat tanda-tanda distress

Ancaman gagal nafas

Batuk menggonggong, stridor yang terdengar saat istirahat, terdapat retraksi sternal, letargi atau terdapat penurunan kesadaran dan sianosis


Tabel 2. Skor Westley

Kriteria


Nilai

Retraksi

Tidak ada

0

Ringan

1

Sedang

2

Berat

3

Masuknya udara

Normal

0

Berkurang

1

Sangat berkurang

2

Srtidor inspirasi

Tidak ada

0

Gelisah

1

Istirahat dengan stetoskop

2

Istirahat tanpa stetoskop

4

Sianosis

Tidak ada

0

Gelisah

4

Istirahat

5

Derajat Kesadaran


Sadar

0

Gelisah, cemas

2

Penurunan kesadaran

5

Skor Westley sangat banyak digunakan untuk menilai derajat kegawatan croup. Skor 0-1 adalah ringan, skor 2-7 sedang dan skor 8 atau lebih adalah berat.

Pemeriksaan penunjang jarang diperlukan dalam mendiagnosis penyakit croup. Temuan laboratorium pada penyakit croup tidaklah khas dan jarang berguna dalam mendiagnosis croup.[1, 2, 3, 5] Pemeriksaan radiografis juga tidak diperlukan jika perjalanan penyakit sudah tampak secara klinis. Walaupun gambaran ”steeple sign” pada foto radiografis leher dapat menunjang diagnosis, namun gambaran ini hanya didapatkan pada 50% kasus.[2, 5] Akan tetapi, jika terdapat kecurigaan laringotrakeo-bronkitis atau laringotrakeobronkopneumonitis maka pemeriksaan sel darah putih, hitung jenis, foto thorak dan leher PA dan lateral diindikasikan.[1, 3] Jika ditemukan peningkatan leukosit yang di dominasi PMN kemungkinan sudah terjadi superinfeksi. Gambaran radiografis dada yang menunjukan adanya pneumonia bilateral menunjang diagnosis keterlibatan jalan napas bawah pada penyakit croup. Pada kasus laringotrakeitis tidak jarang pula dijumpai adanya infeksi bakteri sekunder. Hal ini perlu dipertimbangkan apabila dengan pengobatan kortikosteroid yang adekuat tidak mengalami perbaikan.[1, 4]

Endoskopi belum memiliki peran yang jelas dalam diagnosis croup. Adanya pembengkakan pada daerah subglotis merupakan salah satu pertimbangan untuk tidak melakukan instrumentasi dan sebaiknya hanya dilakukan pada kecurigaan selain viral / spasmodik croup.[1, 2, 3, 5]


D. Diagnosis banding

Dalam menegakkan diagnosis croup perlu juga mempertimbangkan adanya penyebab lain yang bisa menimbulkan gejala yang serupa.

    1. Epiglotitis

Sering disebut juga sebagai supraglotitis. Merupakan infeksi pada epiglotis dan struktur supraglotis yang mengakibatkan obstruksi jalan nafas akut. Penyebab tersering adalah Hemophilus influenza tipe B. gejala klinis yang sering muncul adalah demam tinggi mendadak dan berat, nyeri tenggorok, sesak nafas yang progresif, sesak akan lebih berat pada posisi tidur, rewel ketika makan / menyusu, dan drooling. Pada anak yang lebih besar dapat disertai disfagia dan lebih menyukai posisi membungkuk ke depan dengan leher ekstensi dan mulut terbuka (sniffing position). Pada gambaran radiografi leher lateral menunjukkan Thumb sign. Diagnosa pasti dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laringoskopi. Gambaran epiglotis yang membesar, bengkak, berwarna merah ceri menunjukan epiglotitis.[2, 3, 6, 9, 10, 11]

    2. Edema Angioneurotik akut

Adalah suatu reaksi inflamasi yang ditandai pembengkakan vaskuler dan peningkatan pereabilitas vaskuler. Gejala klinis yang sering muncul adalah edema akut pada berbagai bagian tubuh antara lain pada wajah, ekstremitas, rongga mulut, orofaring dan laring. Sebagian kecil penyakit ini adalah menurun, karena defisiensi enzym Cl esterase inhibitor, namun sebagian besar kasus disebabkan oleh reaksi alergi.[2, 6, 9]

    3. Penyakit Jantung

Kelainan pada jantung juga dapat menyebabkan sesak nafas, terutama setelah beraktivitas. Namun kelainan yang paling sering menyebabkan sesak yang akut antara lain aritmia, iskemik arteri koroner dan gangguan ventrikel kiri. Gejala yang dapat menyertai antara lain palpitasi, kepala terasa ringan dan pingsan. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan takikardi, bising, suara jantung ketiga, peningkatan tekanan vena jugular, edema, hepatomegali. Pada gagal jantung didapatkan gejala yang khas antara lain sesak saat beraktivitas, paroksismal noktusrnal dispnea dan orthopnea.[12]

    4. Benda asing

Obstruksi karena benda asing biasanya terjadi mendadak dan dapat terjadi sumbatan total maupun parsial. Pada umumnya gejala yang timbul adalah sesak ringan sampai berat, batuk, muntah, gelisah, sianosis, ptekiae pada wajah, suara nafas yang tidak normal, wheesing ataupun stridor.

    5. Keganasan

Keganasan pada laring khususnya didaerah glotis dan subglotis dapat menimbulkan gejala yang mirip dengan croup (serak, sesak, stridor). Maka sesak karena keganasan dapat disingkirkan.

E. PENGELOLAAN
Pengelolaan croup meliputi 3 aspek yaitu aspek medikamentosa, aspek keperawatan dan aspek dietetik.
Kriteria rawat inap pada pasien dengan sindrom croup apabila dijumpai salah satu dari gejala-gejala: terdengar stridor progresif, usia di bawah 6 bulan, stridor terdengar ketika sedang istirahat, terdapat gejala gawat nafas, hipoksemia, gelisah, sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan tidak ada respon terhadap terapi.

    1. Aspek Keperawatan

Pengawasan keadaan umum penderita, tanda vital ( HR, RR, Suhu), tanda-tanda distress respirasi yaitu nafas cuping hidung dan retraksi otot-otot suprasternal dan epigastrial saat inspirasi. Pemberian O2 jika terdapat sesak, dan jika ada lendir jalan nafas harus dibersihkan dangan penghisapan. Selain itu diberikan infus 2A½N sebagai masukan kalori dan sebagai jalan masuk obat.

    2. Aspek Medikamentosa

Kortikosteroid merupakan pengobatan evidence based utama pada croup yang telah diteliti dan disepakati. Penggunaan kortikosteroid pada menajemen croup antara lain budesonid nebulisasi dan dexamethason oral. Pada kebanyakan kasus croup cukup digunakan dexametason 0,6 mg/kgBB per oral / intramuskular. Dapat pula diberikan prednison atau prednisolon 1-2 mg/kgBB, dapat diulang 6 – 24 jam.[1, 2, 3, 4, 13, 14, 15, 16, 17] Namun pada kasus berat dapat dipertimbangkan pemberian budesonid nebulisasi 2-4 mg (2ml) dapat diulang 12 – 48 jam pertama, karena efek terapi budesonid nebulisasi terjadi dalam 30 menit sedangkan efek kortikosteroid sistemik terjadi dalam satu jam. Pada sebagian besar kasus, pemakaian budesonid tidak lebih baik daripada kortikosteroid sistemik.[1, 2, 3, 4, 5, 13, 14, 15, 17, 18 ]
Selain itu juga digunakan Adrenalin racemik untuk membantu meringankan gejala sesak dengan mengurangi edema dan sekresi lendir mukosa saluran nafas (perangsangan pada reseptor alfa) serta membuat relaksasi otot bronkus (reseptor beta). Pada umumnya, adrenalin racemik digunakan pada kasus sindrom croup derajat sedang - berat. Dari hasil berbagai penelitian menunjukan bahwa adrenalin racemik secara signifikan efektif menurunkan skor croup.[1, 2, 3, 4, 5, 13] Namun efek ini hanya berlangsung dua jam dan pasien harus tetap diobservasi karena gejala dapat muncul kembali yang merupakan efek fenomena rebound dari penggunaan adrenalin. Adrenalin racemik dapat diberikan nebulisasi maupun dengan tekanan positif intermiten. Akan tetapi adrenalin racemik belum ada di Indonesia. Dapat digunakan pula adrenalin 1:1000 sebanyak 5 ml dalam 2ml salin diberikan melalui nebulizer. Efek terapi dapat terjadi dalam dua jam.[1, 2, 3, 4, 5, 13, 17]
Pemberian antibiotik tidak dianjurkan pada pengobatan sindrom croup. Antibiotik hanya digunakan pada laringotrakeobronkitis atau laringotrakeobronkopneumonitis yang disertai infeksi bakteri
Untuk menurunkan demam diberikan Paracetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB. Untuk mengencerkan sekresi lendir, juga diberikan ambroksol dengan dosis dosis 0,5 mg/kgBB/kali. Karena sebagian besar croup adalah infeksi virus, maka terapi suportif seperti roborantia dapat diberikan
Salbutamol merangsang reseptor beta pada bronkus sehingga terjadi relaksasi otot bronkus. Penggunaan salbutamol pada pasien croup kurang tepat karena patofisiologi utama yang terjadi adalah edema mukosa bukan bronkokonstriksi (efek b adrenergik).

    3. Aspek Dietetik

Pada penderita dengan croup perlu diperhatikan pemberian diet melalui enteral jika terdapat sesak dan usaha nafas karena ditakutkan terjadi aspirasi. Pemberian enteral juga memperhatikan akseptabilitas makanan. Perlahan, diet enteral diganti per oral
Pasien dapat dipulangkan jika keadaan umum membaik, tidak terdapat tanda-tanda distress respirasi, tidak terdengar stridor saat istirahat. Orang tua harus tetap diberi edukasi agar memperhatikan adanya gejala croup yang berulang dan untuk mencari pertolongan dokter secepatnya jika terjadi.

F. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom croup pada umumnya baik.

G. SARAN
Saran dan edukasi yang seharusnya diberikan kepada orangtua pasien dengan croup secara umum setelah menjalani perawatan adalah sebagai berikut :

    1. Promotif : sebagai promotif menganjurkan memberikan makanan yang mengandung gizi yang cukup yang meliputi karbohidrat, protein, lemak, kemudian buah-buahan dan sayuran sebagai sumber vitamin dan mineral untuk penderita.dan menasehatkan supaya selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan terutama lingkungan rumah.
    2. Preventif : sebagai usaha preventif mengajarkan kepada orang tua untuk mencuci tangan yang lebih sering, menghindarkan anak dari berdekatan dengan keluarga atau orang lain yang menderita infeksi saluran nafas. Jika terdapat batuk yang keras dan kering berikan banyak minum dan dekatkan pada udara yang lembap dan hangat. Mengedukasikan kepada orang tua tentang kepentingan asi dan kegunaannya. Bayi yang mendapat asi akan memiliki daya tahan tubuh yang lebih optimal. Jika terdapat tanda-tanda croup berulang segera bawa ke fasilitas kesehatan terdekat.
    3. Memberikan nasehat kepada orang tua penderita untuk secara optimal berusaha mencukupi kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang yang meliputi :
      Asuh : memenuhi kebutuhan akan pangan/gizi, papan/pemukiman yang layak, perawatan kesehatan dasar antara lain : imunisasi, penimbangan anak yang teratur dan pengobatan kalau sakit.
      Asih : memberikan kasih sayang dan perhatian pada penderita supaya pengobatan berjalan sampai tuntas dan mencegah berulangnya penyakit.
      Asah : memberikan stimulasi mental psikososial dengan alat pengasah edukatif yang dapat berupa gambar dan suara.


    DAFTAR PUSTAKA

    1. Cherry JD, Croup. N Engl J Med, 2008; 358(4): 384 – 391.
    2. Yangtjik K, Dadiyanto DW. DB. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 2008 : 320-329.
    3. KNUTSON D, ARING A. Viral Croup. American Family Physician, 2004; 69(3): 535 - 540
    4. Bjornson CL, Johnson DW. Croup in the Paediatric Emergency Department. Paediatr Child Health. 2007; 12(6): 473–477.
    5. Muñiz A, Molodow RE, Defendi GL. Croup [cited 2008 Nov 21]. Available at URL: www.emedicine.medscape.com/article/962972-overview.html
    6. Postma GN, Koufman JA. Laryngitis. Dalam : Bailey BJ. Ed. Head and Neck Surgery Otolaringology. 2nd ed. Volume 1. Philadelphia: JB Lippincot, 2006: 731-739
    7. Hall CB. Respiratory Syncytial Virus and Parainfluenza Virus. N Engl J Med 2001, 344(25): 1917-1928.
    8. Parija SC, Marrie TJ. Parainfluaenza Virus [cited 2008 Jul 24]. Available at URL: www.emedicine.medscape.com/article/224708-overview.html
    9. Probst, Rudolf, MD. Basic Otorhinolaryngology. Stuttgart: Georg Thieme Verlag, 2006: 338-361
    10. Ballenger JJ. Penyakit Telinga ,Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jilid 1. Alih Bahasa : Staf Ahli Bag. THT FKUI. Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1994: 511-525.
    11. Broek PVD. Acute and Chronic Laryngitis. Dalam : Scott-Brown's Otolaryngology. 6th ed. Oxford : Butterworth – Heinemann, 1997: 5/5/1-18
    12. Mahler DA. Dyspnea: Mechanisms, Measurement and Management. 2nd Ed. Informa Health Care, 1998: 224-5
    13. Brown CJ. The management of croup. British Medical Bulletin, 2002, 61:189-202.
    14. Forster J, Review: glucocorticoids improve symptoms of croup within 6 hours. Evid. Based Med, 2000; 5: 41
    15. Jaffe DM. The Treatment of Croup with Glucocorticoids. N Engl J Med, 1998; 339(8): 553-555
    16. Freedman ES. Corticosteroids for the Treatment of Croup. The Journal of Family Practice, 1999; 48(12)
    17. Ausejo M, Saenz A, Pham B, Kellner JD, Johnson DW, Moher D, Klassen TP.The effectiveness of glucocorticoids in treating croup: meta-analysis. BMJ, 1999; 319: 595-600
    18. Geelhoed GC, Macdonald WBG. Oral and inhaled steroids in croup: A randomized, placebo-controlled trial. Pediatr Pulmonol. 1995; 20: 355-361

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar